Minggu, 27 Maret 2011

The Tourist: Sang Mafia Ikut Berwisata, Filmnya Jadi Cokelat Semua

Resensi oleh Makbul Mubarak
Menonton The Tourist rasanya seperti melihat orang sukses yang belum rela direbut kejayaannya. Sutradara Florian Henckel von Donnersmarck sukses besar lewat film terdahulunya, The Lives of Others (2006) dan ia belum ikhlas untuk kehilangan kesuksesannya itu. Adegan pembuka film The Tourist langsung mengingatkan kita pada benang merah di The Lives of Others: penyadapan pakai komputer dan serbuan warna cokelat dalam jumlah yang sangar. Suatu pagi di Lyon, Perancis, Elise Ward tengah minum kopi di kafe tanpa sadar bahwa ia tengah diintai dari mobil van tak jauh dari tempat duduknya. Lyon disini didominasi oleh warna cokelat. Elise Ward menerima pesan rahasia dan ia pergi naik kereta ke Venezia, yang juga berwarna cokelat. Perjalanan Elise diintai oleh pusat operasi rahasia nun di Inggris Raya, lagi-lagi berwarna cokelat. Warna cokelat dalam The Tourist diabadikan bukan karena ia memang warna asli kota-kota tersebut, melainkan wujud usaha keras Donnersmarck untuk mengingatkan kita pada The Lives of Others yang juga cokelat semua. Ia belum rela turun tahta dari kesuksesannya.
Bagaimanapun, The Lives of Others tak bijak disamakan dengan The Tourist. The Lives of Others mencoba mengumpulkan patahan rahasia ideologis masa lalu dan menyusunnya menjadi narasi thriller yang tenang dan selalu mencekam. Sementara The Tourist adalah film jalan-jalan seru yang berusaha lucu tapi tampaknya buntu. Dalam perjalanannya ke Venezia, Elise Ward bertemu Frank Tupelo, guru matematika dari Amerika Serikat. Mereka lalu berwisata sembari dikejar mafia dan polisi kota. Garingnya, Donnersmarck menempatkan mafia bukan sebagai ancaman bagi Elise dan Frank, melainkan menjadikannya  satu kotak dengan paket wisata mereka. Koreografi ruang dan waktu yang melatari aksi reaksi Elise-Frank dan para mafia-polisi sudah diatur sedemikian rupa sehingga bukan ancaman bahaya, tapi eksotisme kaku yang membubungi lensa kamera.
Plot The Tourist bisa berjalan karena beberapa hal. Pertama, The Tourist menghubungkan konsep wisata dan konsep spionase lewat semacam fetisisme atas persona para pemainnya.  Fungsi spionase dalam The Tourist tidak semata ditujukan untuk mengetahui rahasia besar Elice Ward, melainkan juga sebagai ajang fetisisme bagi para polisi dan mafia (juga para penonton). Elise Ward digambarkan sebagai wanita yang anggunnya “Masya Allah”, jago berdandan tetapi juga adalah agen kelas satu. Bagi saya, dua atribut yang melekat pada Elise Ward yakni “Keanggunan” dan “Agen Kelas Satu” adalah sebuah kombinasi naratif yang belum sinkron sehingga kita tidak boleh berhenti hanya sampai disitu, ketidak-sesuaian ini harus dijelaskan lewat keterangan lain yang membantu. Tapi The Tourist tidak mengusahakan itu, ia berhenti sampai disitu saja tanpa bisa menjelaskan alasan naratifnya sama sekali. Ketidak-jelasan itu akhirnya ditambal dengan memasang aktor yang sudah mentereng saja popularitasnya.
“Anggun” dan “Agen” simply digabungkan mentah-mentah karena ia toh adalah Angelina Jolie. Memasang Jolie sebagai Elise Ward akan membius semua penonton dan melupakan apa perannya. Tak akan ada yang peduli Elise Ward itu agen rahasia atau tukang siomay, karena orang datang ke bioskop bukan untuk melihat Elise Ward melainkan untuk melihat Angelina Jolie. Hal yang mendingan (namun tetap saja berpola sama) terjadi pada Frank Tupelo, dimana profesinya sebagai guru matematika masih bisa dijadikan bahan tertawaan. Meskipun saya akui, lebih banyak penonton yang melihatnya tetap sebagai Johnny Depp dibanding sebagai guru matematika dari Wisconsin.
Kedua, meskipun banyak sekali pihak yang terlibat dan saling mengusahakan kepentingan masing-masing, seperti Elise Ward, Frank Tupelo, Alexander Pearce, Mafia, dan Polisi, pola pergerakan karakter menjadi mudah ditebak karena adanya semacam kesamaan kata kunci antar para karakter, yakni “altruisme”. Perhatikan saja, Elise Ward rela berkorban apa saja untuk Alexander Pearce, Frank Tupelo rela berkorban apa saja untuk Elise Ward, dan Polisi rela berkorban apa saja untuk Frank Tupelo. Satu-satunya yang tak termasuk dalam rantai itu adalah Sang Mafia. Sehingga pergerakan dan keberlawanan menjadi jelas: semua karakter versus Sang Mafia. Tak usah dipikirkan kenapa orang-orang yang belum saling kenal ini bisa bergaul lewat pola yang sama persis? Memikirkannya hanya akan menjadi sakit kepala tersendiri.
Ketiga, menonton The Tourist berarti kita harus percaya pada premis “Identitas tak ada hubungannya dengan bangun fisik”. Semua orang bisa saja menjadi Alexander Pearce, dan semua orang bisa saja menjadi Frank Tupelo. Setiap wisatawan adalah penjahat, dan setiap penjahat adalah wisatawan. Orang yang lebih pendek empat inci dari Alexander Pearce bisa saja dituding sebagai Alexander Pearce. Sebab morfologi fisik dalam The Tourist tak lagi kuasa menjadi parameter identitas secara apapun. Keberadaan teknologi operasi plastik dengan longgarnya keluar masuk cerita tanpa bisa menutupi kekakuan plot yang sudah ada sejak awal.
Satu hal yang membuat saya tertarik terhadap The Tourist adalah eksperimentasinya yang unik terhadap ending cerita. Meskipun masih ragu, ia mencoba menggabungkan close-ending dan open-ending sekaligus sehingga penonton bisa memilih lebih suka ending yang mana; yang terang ataukah yang remang. Selebihnya, The Tourist hanyalah film bernuansa cokelat yang berusaha mempertemukan mata turis, mata detektif, dan mata penonton, dan tetaplah film jalan-jalan seru yang berusaha lucu tapi tampak buntu.
.
The Tourist | 2010 | Sutradara: Florian Henckel von Donnersmarck | Negara: Amerika Serikat | Pemain: Angelina Jolie, Johnny Depp, Paul Bethany, Timothy Dalton, Christian De Sica.

film Jumper sang pelompat : Berteleportasi

    080216afilm.jpgfilm-jumper-225-ok.jpg
Bersama dengan teman teman setelah makan pizza, langsung menuju studio 21 di naogya ada dua refrensi filem yang menarik (1. Jumper, 2.Kungfu Dunk) untuk di tonton setelah berunding bersama teman teman diputuskan lah untuk masuk studio 1 ” Jumper yang di tayangkan pukul 21.25″ filem kurang bagus sehh, dari segi alur cerita kurang menarik untuk di ikuti tapi ada sisi yang menarik ya itu animasi dan aksi – aski yang membawa ke berbagai kota diseluruh dunia sehingga pembuatan filem ini tidak hanya di satu lokasi saja. tentunya membutuhkan biyaya yang tidak sedikit.

Jenis Film
- Action
Pemain
- Hayden Christensen, Jamie Bell, Samuel L. Jackson, Rachel Bilson, Annashopia Robb
Sutradara
- Doug Liman
Penulis
- Simon Kinberg, Steven Gould
Produser
- Steven Gould, Lucas Foster
Produksi
- 20th Century Fox
Homepage
- http://www.jumperthemovie.com/
Trailer
- http://www.jumperthemovie.com/
Durasi
- 88 Min
Sinopsis:
David Rice dengan mudah menjalani kehidupan sehari-hari di berbagai negara dalam waktu singkat. Sebab, David memiliki kemampuan teleportasi atau berpindah tempat dalam waktu sekejap. Ia bisa bangun pagi di Amerika Serikat, makan siang di Mesir, dan makan malam di Prancis.
Dengan kelebihan itu, David tergoda merampok bank. Selama delapan tahun, ia memang selalu lolos karena polisi tak bisa menangkapnya. Namun, cara merampok yang terlalu aneh membuat Paladin curiga dan mulai memburu David. Paladin adalah kelompok pembunuh jumper atau orang yang mampu berteleportasi. Di tengah pelarian, David bertemu seorang jumper lain. Keduanya kemudian menghadapi kelompok Paladin, termasuk Roland, pemburu jumper terkejam.
Nah, keahlian teleportasi David itu bisa Anda saksikan dalam Jumper yang tengah diputar di bioskop Tanah Air. Film yang disutradarai Doug Liman ini menjanjikan banyak pemandangan indah dan khas berbagai kota seperti Roma, Tokyo, Kairo, serta New York. Beberapa aktor terkenal ambil bagian dalam film yang diangkat dari novel karya Steven Gould tersebut. Di antaranya adalah Hayden Christensen yang berperan sebagai David Rice dan Samuel L. Jackson yang memainkan tokoh Roland
selamat menyaksikan.

Resensi Film Transformer The Revenge of The Fallen

Alkisah ada 5 buah robot dari ras Prime. Optimus Prime, salah satu pemimpin robot dari group Autobot yang sudah muncul pada film Transformer sebelumnya. Tokoh barunya adalah the Fallen. The Fallen merupakan salah satu dari pemimpin robot ras prime yang ambisius, dimana dia ingin mengambil matahari dari semua planet di galaksi tanpa perduli dengan kepentingan mahluk lain (manusia) yang memerlukan matahari untuk kelangsungan hidupnya.
Sedang 4 prime yang lain tidak setuju , karena mereka tidak sanggup melawan kesaktian dari the Fallen, sehingga 3 robot prime yang lain meleburkan diri untuk mempertahankan Matrix of Leadership , yang di yakini dapat membuat the Fallen tidak terkalahkan.
Disinilah benang merah cerita mengalir. Di ceritakan ada 3 pihak yang berseteru , yakni 2 robot yang diceritakan diatas dan dari pihak manusia yang mulai menghendaki putusnya kontrak kerja dengan robot kelompok Autobot dibawah kepemimpinan Optimus Prime.
Optimus meminta sahabatnya dari ras manusia yaitu Sam untuk menjadi penengah , tapi Sam merasa dia tidak sanggup dan menginginkan  kehidupan nya sebagai manusia normal.
Tetapi ternyata takdir berkata lain. Sam tidak mau terlibat dengan konflik Optimus dengan Pemerintah Amerikanya tapi dia tidak bisa lari dari kejaran kelompok the Fallen yang dimotori oleh Megatron yang menginginkan sebuah batu yang dimilikinya. Sehingga Sam tidak punya pilihan lain selain ikut terlibat, dan membantu Optimus untuk kembali hidup , karena hanya Optimus yang sanggup melawan dan mengalah kan the Fallen.
Sepanjang film , telinga kita akan dibisingkan dengan suara robot, suara derikan gerakan  robot dan suara logam berdenting karena perkelahian antar robot.
Sebenarnya agak tidak masuk akal untuk manusia melawan robot yang bisa berubah bentuk sesukanya , mempunyai fleksibilitas bak super hero dan mengeluarkan tembakan2 yang beruntun. Robot ini bisa disejajarkan dengan Aliens di film Men in Black I & II. Malah di Men in Black, aliens bisa ditaklukan dengan senjata atau cairan tertentu, sementar para robot disini, nyaris tidak bisa dibunuh dengan tembakan ringan atau hanya pukulan2 ringan saja.. Jadi untuk menaklukannya yang terlihat adalah (oleh manusia) tembakan dengan bom yang besar atau (oleh sesama robot) harus dengan tusukan yang menhancurkan, misalnya ditusuk ke jantung robot atau merusak muka dari si robot.
Jadi yang bisa disaksikan adalah ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam  konflik memperebutkan the Matrix of Leadership, dan menyaksikan spesial efek komputer yang luar biasa yang menggabungkan manusia dengan robot sedemikian mulusnya. Baik dalam hal akting maupun action perkelahiannya.
sumber : http://www.dunianyawanita.com/life-style/258-resensi-film-transformers-revenge-of-the-fallen-

Resensi Film King’s Speech

Bagaimana jika seorang pemimpin suatu Negara tidak bisa ber-pidato di depan rakyatnya?, di karenakan hanya gagap dalam berbicara, memang hal seperti ini jarang terjadi dan mungkin hanya sekali terjadi di dunia ini yaitu di Inggris. Hal kecil yang ternyata memiliki pengaruh besar dalam hidup banyak orang.
Film yang di angkat dari kisah nyata ini memang tersaji dalam tampilan yang tidak membosankan. Cerita yang unik, gambar yang segar membawa para penonton dalam rasa lucu yang berubah menjadi haru. Awalnya ketika mendengar seorang pemimpin berbicara gagap memang terasa lucu, tapi setelah penterjemahan cerita membawa penonton menelusuri sebuah pilihan hidup yang menjadi sulit karena gagapnya seorang pemimpin maka keadaan menjadi haru dan sangat menyentuh hati.

Adegan awal film dibuka dengan penampilan Pangeran Albert (diperankan Colin Firth), yang merupakan putra kedua dari Raja George V, dalam menyampaikan pidato yang di temani oleh istrinya Elizaberth (Helena Bonham Carter) di Stadion Wembley, 1925. Yang ternyata meresahkan ribuan rakyat yang mendengarkan pidato itu.
Pidato gagap yang terasa tidak meyakinkan itu terasa sangat lucu dalam kesedihan. Begitu aneh bukan seorang Pangeran yang merupakan calon Raja berpidato di depan ribuan orang dalam kondisi berbicara gagap!, bagaimana jika SBY mengalami hal itu?, mungkin akan ada banyak protes yang di lancarkan oleh masyarakat.
Resensi Film King Speech
Kegagalan pidato itu membuat sang Pangeran mencoba untuk mencari solusi agar dia bisa berbicara layaknya orang normal. Banyak dokter ditemuinya untuk menjalani terapi tapi hasilnya selalu nihil hingga rasa putus asa pun datang dalam dirinya.
Sang istri yang perihatin terhadap nasib yang ditimpa oleh suaminya itu pergi menemui Lionel Logue (Geoffrey Rush) yang ternyata ahli dalam terapi bicara. Pertemuan pertam pun memiliki kesan yang sangat unik, dimana Lionel ingin pertemuan itu dilakukan di rumahnya, dan ketika mereka bertemu Lionel meminta agar mereka saling sapa dengan nama Kristen mereka yang sebenarnya merupakan sebuah pelanggaran terhadap etika kerajaan.
Terapi pertama yang dilakukan oleh Lionel adalah meyakinkan Albert untuk membaca sebuah Hamlet. Jelas saja Albert yang merasa sebagai seorang yang terpandang tidak mau melakukannya hingga taruhan pun terjadi. Albert membaca dalam keadaan gagap dan berhenti dengan rasa putus asa.
Tapi Logue melanjutkan terapi itu dengan menyuruh Albert untuk mendengarkan sebuah musik dari sebuah piringan hitam dimana musik yang nyaring membuat Albert tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Suara Albert direkam dalam piringan hitam dan ketika Logue ingin memutarnya Albert menolaknya. Piringan hitam di berikan kepada Albert dan Albert pulang lagi-lagi dengan rasa putus asa.
http://delupher.files.wordpress.com/2011/01/the-kings-speech-movie-photo-021-e1292994912295-700x304.jpg?w=469&h=212
Singkat cerita Albert memutar piringan tadi setelah sang Ayah menjelaskan bahwa pentingnya sebuah pidato untuk penyiaran kepada masyarakat. Semua bagaikan sebuah keajaiban dimana dalam rekaman itu Albert sedikit pun tidak gagap ketika membaca. Dia lancar seperti orang normal. Karena kemajuan yang tidak terduga itu akhirnya Albert kembali menemui Logue dan mulai menjalankan terapi selanjutnya.
Kedekatan mereka yang sudah seperti teman dekat membuat Albert akhirnya bercerita banyak kisah kehidupan kecilnya di kerajaan yang kebanyakan tidak pernah di ketahui oleh publik, cerita yang di sampaikan oleh Albert ternyata menjadi latar belakang mengapa dia bisa berbicara tergagap-gagap.
Pada tanggal 20 januari1936 George V meninggal dunia. tahta Raja pun jatuh ke pada Edward kakak dari Albert. Akan tetapi Edward memiliki keinginan untuk menikah dengan Wallis Simpson, seorang janda Amerika yang pernah bercerai dua kali. hal itu memicu krisis konstitusional.
Karena Edward memilih untuk menikahi Wallis maka tahta kerajaannya pun di berikan kepada Albert. Bagi Albert hal itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan, dimana dia hampir putus asa karena gagapnya yang membuat dia tidak bisa berpidato di depan umum. Hingga keluhan bahwa dia tidak pantas menadi seorang raja di karenakan gagap pun keluar dari mulunya sendiri. Saat adegan itu rasa miris hati sangat kental, emosi yang begitu kuat ditunjukkan dengan sangat bagus.
Ketika keterpurukan itu semakin menjadi, Logue pun membantunya untuk bisa berpidato, walau sebelumnya ada konflik yang terjadi di antara mereka bedua yang menyebabkan persahabatan mereka retak.
Cerita ini terasa sangat singkat, padahal jarang sekali film drama yang padat dengan dialog terasa cepat berlalu, padahal durasi film ini tergolong cukup lama. Penampilan Colin Firth sebagai Albert memang sangat cerdas, bicara gagapnya sangat terasa nyata dan berkesan tidak di buat-buat. Ekspresi emosi yang sering meledak-ledak juga sering bermunculan di dalam film ini. film yang menjadikan sebuah ekspresi sebagai dialog kuat yang membuat penonton tercengang-cengang. Jadi pantas lah jika film ini banyak masuk nominasi Oscar.
Hal yang sangat di sayangkan adalah apresiasi penonton di bioskop.  Saya terheran-heran film sebagus itu banyak membuat beberapa pasangan keluar bioskop sebelum film usai, malah film goyang kerawang yang tidak jelas itu lebih diminati para penonton. Sekarang saya mengerti sebatas apa selera para penonton kebanyakannya. Mereka lebih suka film tidak jelas yang tidak memiliki pesan moral daripada menonton film bagus yang banyak memiliki pencerahan bagi kehidupan.
Benar-benar pemandangan yang sangat aneh!. Jika anda belum menonton film ini maka saya menyarankan anda untuk menontonya. Pelajaran yang dimiliki oleh film ini berasa sangat banyak. Menampilkan sifat pantang menyerah dengan tekat yang berawal dari sebuah kewajiban yang menjadikan dirinya sebuah tanggungjawab besar yang patut di contoh oleh para pejabat di Negri ini. sifat bertanggungjawab seperti ini memang sangat di perlukan, sehingga dalam bekerja mengabdikan diri dengan rakyat menjadi sungguh-sungguh. Semoga bisa menghibur dalam kelucuan film ini dan membuat kita berpikir panjang tentang arti sebuah perjaungan dan tanggungjawab.

Film Drama-Thriller Black Swan: Ketika Balet Menjadi Menyeramkan

++ MegaDiskon.com ++
Film drama-thriller Black Swan secara gamblang menghadirkan rivalitas dua penari balet, Nina dan Lily. Namun kompetisi itu bukan persaingan keindahan gerak semata, karena hidup keduanya adalah kenyataan dari simbol baik dan buruk yang mereka perankan.


Film drama Black Swan secara perdana diputar pada Venice Film Festival, Itali, sejak September 2010 lalu. Kemudian, sinema garapan sutradara Darren Aronofsky ini melanjutkan penjelajahannya dari festival satu ke festival lain. Sebelum direkomendasi secara khusus oleh Toronto International Film Festival, Black Swan juga mendapat kritikan positif para penonton di Telluride Film Festival, London Film Festival, Austin Film Festival, sampai Saint Louis International Film Festival. Wajar saja bila Black Swan menempati posisi puncak di Internet Movie Database (IMDB) untuk film yang siap beredar di minggu pertama Desember 2010, dengan skor akhir 8,9. Angka tentu ini mengisyaratkan jika Black Swan bukan sekadar film drama biasa.

Dalam film drama Black Swan yang berdurasi 107 menit ini, Natalie Portman dan Mila Kunis beradu peran sebagai Nina Sayers yang menjadi The Swan Queen, dan Lily yang memerankan karakter The Black Swan. Kedua artis cantik ini memerankan sisi baik dan buruk melalui peran Swan Lake dan Black Swan, sebuah komposisi balet klasik asal Rusia yang dipopulerkan Pyotr Ilyich Tchaikovsky antara 1875–1876. Sutradara pementasan Swan Lake sendiri dipercayakan Aronofsky pada aktor Perancis bermata biru, Vincent Cassel yang memerankan Thomas Leroy.

Sama-sama berbakat, Nina dan Lily menjadi artis asuhan Leroy yang menawan. Keduanya kemudian saling beradu gemulai demi menarik hati sang sutradara. Hanya karena pementasan Swan Lake membutuhkan dua penari balet yang memerankan karakter 'tak berdosa' dan 'pendosa', maka Leroy menetapkan Nina dan Lily menjalankan kedua peran tersebut. Namun, ketika sedikit demi sedikit keduanya mulai menjalin persahabatan di belakang panggung, konflik sebenarnya baru terjadi dalam film drama Black Swan. Karakter yang diperankan rupanya bukan sekadar simbol di atas panggung, karena diri asli mereka ternyata serupa dengan peran yang dibawakan.




Peran yang Maksimal
Sebagai peraih nominasi Oscar katagori pemeran pembantu wanita terbaik lewat peran "Alice" dalam "Closer" (2004), akting Natalie Portman begitu ciamik dipandang. Gadis kelahiran Israel 29 tahun lalu yang besar di AS itu benar-benar mendalami karakter Nina layaknya Anda tengah melihat kisah aslinya. Lawan mainnya pun tak kalah memukau. Mila Kunis atau Milena Markovna Kunis yang sukses memerankan "Solara" dalam The Book of Eli (2010) itu juga tampil energik sebagai 'wanita jahat'. Pentas keduanya dalam film drama Black Swan benar-benar akan membuat Anda tenggelam dalam plot kisah yang sedikit pelik, lengkap dengan beberapa kejutan sebagai thriller.

Sedang peran Vincent Cassel atau Vincent Crochon yang kita kenal sebagai penjahat smart dan elegant berjuluk "Si Rubah" dalam Ocean Twelve, seakan melengkapi rivalitas keduanya dalam film drama Black Swan. Karakter Leroy sebagai seorang seniman yang menggunakan seksualitas untuk mengarahkan para penarinya, berhasil diperankan dengan tepat. Pria bermata biru kelahiran Perancis 44 tahun lalu itu akan membuat Anda semakin menghayati kehidupan penari balet profesional dunia, berkat arahan dan nuansa yang diberikan pada Nina dan Lily.

Selain ketiganya, film drama Black Swan juga menghadirkan Barbara Hershey yang memerankan Erica Sayers, dan Winona Ryder yang memerankan Beth Macintyre (The Dying Swan). Sayangnya, jika Erica Sayers cukup mampu mengungkapkan karakter seorang mantan penari balet yang terobsesi mendorong anaknya (Nina) ke puncak prestasi, Winona hanya mampu tampil seadanya dengan bagian peran yang kecil, terutama setelah Nina dipilih Leroy menggantikannya.



The Best Scene
Menelan biaya mencapai 17 juta dolar, film drama Black Swan akhirnya diputar ke publik luas. Sebagai sinema "langganan festival", hasil garapan Aronofsky ini memang punya kelebihan dari segi cerita dan kekuatan karakternya. Anda yang menyukai sinema drama ataupun thriller tak bakal menyesal menyaksikan rangkaian kisah yang tensinya kian meninggi menjelang akhir ini. Selain itu, dukungan musiknya membuat suasana yang dibangun jadi sangat mengena dan menenggelamkan para penonton Black Swan ke dalam kisahnya.

Di sisi lain, meski 'kebaikan selalu menang mengalahkan kejahatan', film drama Black Swan menghadirkan cara penyelesaian yang tidak lurus. Nina misalnya, mesti bergelut dengan dirinya lebih dulu, sebelum mendapatkan pilihan terbaiknya sendiri. Sedang Lily yang menjadi karakter antagonis, mengajarkan sisi jahat pada Nina sekaligus menjadi teman terbaik melepaskan diri dari kungkungan Erica. Sehingga, baru di akhir sinema Anda dapat menentukan mana jalan terbaik yang menjadi pesan moral dalm film drama Black Swan. Selamat menoton!


_______________________________

Run Time: 107 min
Director: Darren Aronofsky
Release Date: 3 Desember 2010 (Amerika)
Genre: Drama | Thriller
Awards: NA
Cast: Natalie Portman, Vincent Cassel, Mila Kunis, Barbara Hershey, Winona Ryder, etc.

_______________________________